1. Pendapat John Ruppert Firthian (1890-1960)
Seperti yang diungkapkan Soeparno dalam
Dasar-dasar Linguistik Umum, Firthian adalah guru besar pada Universitas
London sangat terkenal sebagai pelopor Aliran London. Bila aliran
Bloomfieldian disebut dengan nama strukturalisme Amerika, maka aliran
Firthians disebut strukturalisme kontinental. Kaum ini terkenal karena
kecenderungannya untuk menerapkan hal-hal yang praktis. Para ahlinya
antara lain : John Ruppert Firth, Daniel Jones, Brownislaw Malinowski,
dan H.Sweet.
Firth mengeluarkan teori tentang fonologi
prosodi.Titik berat perhatiannya memang pada bidang fonetik dan
fonologi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada
tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis
dan satuan prosodi. Satuan –satuan fonematis berupa unsur-unsur
segmental, yaitu berupa konsonan dan vokal. Sedangkan satuan prosodi
berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada
suatu segemn tunggal. Ada 3 macam pokok
prosodi, yaitu (1) prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur
kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal; (2)
prosodi yang terbentuk oleh jeda; dan (3) prosodi yang lebih daripada
fonem-fonem suprasegmental.
Firth juga berpendapat telaah bahasa
harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur harus dikaji dalam
konteks situasinya, yaitu orang-orang yan berperan dalam masyarakat,
kata-kata yang mereka ungkapkan, dan hal-hal lain yang berhubungan.
(Abdul Chaer: 355-356)
Karya Firth dan kelompoknya mempunyai
pandangan yang sama tentang struktur bahasa seperti yang dikemukakan
oleh de Saussure. Firth meminjam istilah konteks situasi dengan
membedakan tataran yang beragam dan menunjukkan adanya unsur linguitik
yang terbatas. Ia menggunakan dua jalur yang dikemukakan oleh de
Saussure, yaitu paradigma dan sintagmatik.
Firth berpendapat bahwa pertanyaan
tentang realitas dapat melumpuhkan penyelidikan. Objek kajian linguistik
menurut Firth adalah bahasa secara aktual. Firth mengatakan bahwa
struktur berkenaan dangan hubungan sintagmatik antar unsur dan sistem
yang berhubungan dengan paradigmatik antar unit. Konteks situasi adalah
konstruk sistematik yang diterapkan khusus untuk peristiwa sosial yang
berulang terdiri atas berbagai tataran analisis. Tataran ini yaitu
fonetik, fonologi, tata bahasa, kosa kata, dan bahasa.
Pendekatan situasional untuk menganalisis situasi tuturan sebagai berikut:
- Hubungan dalam teks itu sendiri
- Hubungan sintagmatik antara unsure struktur yang dipertimbangkan dalam berbagai tataran analisis
- Hubungan paradigma istilah untuk memberikan nilai pada unsure struktur.
- Teks dalam hubungan dengan unsur nonverbal dengan hasil keseluruhan yang efektif
- Hubungan analisis antara bagian teks dan unsur khusus dalam situasi.
- Hubungan dalam konteks situasi
Komponen dasar dari makna keseluruhan
adalah fungsi fonetik, fungsi leksikal, fungsi morfologi, dan fungsi
sintaksis serta seluruh konteks situasi.
Tataran pertama adalah fonetik dan
fonologi. Pada tataran ini bunyi mempunyai fungsi berdasarkan (1) tempat
terjadi; dan (2) kontras yang ditunjukkan dengan bunyi yang dapat
terjadi ditempat yang sama.
1. tempat
Dengan menggunakan contoh bahasa Inggris, dapat ditentukan bahwa bunyi /b/ dapat terjadi:
- Pada posisi depan (awal)
- Sebelum vokal
- Sebelum jumlah konsonan tertentu
- Tidak pernah ada sesudah konsonan
2. Kontras
Dalam kajian kata, dimana /b/ berposisi depan ditemukan bahwa posisi itu dapat diganti oleh /p/ atau /m/ :
- Jika ada /p/ atau /m/, bunyi /s/ dapat mendahului bunyi itu.
- Jika /p/ dan /m/ diartikulasikan seperti /b/ berdasarkan
tempatnya, ada kontras antar mereka: /b/ dan /p/ keduanya bilabial,
tetapi /b/ dan /p/ biasanya bukan nasal, /m/ adalah nonplosif, dan
seterusnya.
- /d/ adalah alveolar dan berkontras secara berbeda dengan /b/ daripada dengan bunyi yang lain, dan seterusnya.
Yang dicatat oleh Firth ialah bahwa
fungsi dari seorang ahli fonologi ialah menunjukkan satuan fonemik dan
satuan prosodi dalam kaitannya dengan makna, sedang ahli fonetik ialah
menghubungkan satuan itu dengan proses dan ciri ujaran.
Tataran kedua ialah leksikal. Dalam
tataran ini makna dapat dipertimbangkan. Makna kata dapat ditunjukkan
tidak hanya dalam pengertian referensial seperti lazimnya dikerjakan,
tetapi dapat juga dipertimbangkan dalam lingkup kolokasi.
Tataran ketiga adalah tata bahasa yang
dapat dipilahkan menjadi morfologi dan sintaksis dalam tataran
morfologi, dapat dilihat paradigma untuk kata denan tidak melupakan
syarat makna dalam paradigma itu.
Dalam tataran makna sintaksis, kita berurusan dengan kologasi atau hubungan sintagmatik antara kategori gramatiakal.
Tataran keempat adalah situasi. Tataran
ini sangat dekat dengan tataran makna, sulit untuk menggambarkan konteks
situasi itu denan bahasa yang tepa. Oleh seba itu, biasanya para
Linguas memilih butir-butir yang gayut. Firth mendaftar butir-butir itu
sebagai berikut:
- Partisipan
- Tindak verbal mereka
- Tindak nonverbal mereka
- Obyek yang gayut, peristiwa nonverbal dan nonpersonal
- Evek tidak verbal
Pendekatan seperti itu diistilahkan
monistik dan menghilangkan dikotom kata, dan pikiran atau menerapkan
cakupan materialisme untuk menghilangkan mentalisme. Pendekatan itu
digunakan dengan dua alasan pokok, yaitu:
- Memungkinkan kita dapat menyatakan pemakaian penuturan dalam
sebuah situasi, dan kita dapat menyamakan makna dengan pemakaian.
- Untuk menjamin bahwa kita menguji kebenaran serpihan bahasa,
alih-alihan contoh yang tidak tepat yang ditemukan dalam banyak
tata bahasa.
Dalam menganalisis unsur bunyi dalam
tuturan, analisis prosodi membedakan hubungan paradigmatik dan
sintagmatik. Butir dalam hubungan paradigmatik adalah sistematik, dan
butir dalam hubungan sintagmatik ialah struktural.
Sebuah fonematik mirip namun berbeda
dengan fonem. Fonem adalah sebuah satuan yang dibatasi melalui
kemampuannya untuk membedakan sebuah butir leksikal dengan yang lain.
Perbedaan antara fonem dan satuan fonematik ialah prosodi.
Kata kerja harus diangap sebagai kata
kerja perifrastik polinomial, bukan sebagai kata-kata individual.
Analisis kategori gramatikal atau kategori morfemik harus dikaji secara
sintagmatis, selama mereka muncul secara paradigmatik sebagai satuan
yang memberikan nilai pada unsur struktur. Analisis yang sama harus
diterapkan pada bagian-bagian klausa.Dalam tataran leksikal, kologasi
menunjukkan pentingnya bagian frase, klausa, kalimat dan secara erat
merajut kelompok kalimat.
2. Pendapat Brownislaw Malinowski (1884-1942)
Brownislaw Malinowski berasal dari
Inggris, ia terkenal dalam bidang Antropologi. Pandangannya yang
mendasar tentang makna dalam bahasa itu disebut “konteks situasi”, yang
kemudian diambil dan dikembangkan oleh J.R.Firth. Menurut Malinowski,
makna tuturan itu seperti yang terdapat dalam konteks situasinya.
Gagasan ini telah mencakup dan mendukung gagasan Bloomfield. Kaum
mentalis dan mekanis biasa menyebutnya metode praktis.
Malinowski berpendapat bahwa:
1) kalimat adalah bahasa dasar.
2) kata merupakan abstraksi sekunder.
Ia membatasi kalimat sebagai sebuah tuturan yang di ikat oleh sebuah
kesenyapan atau jeda yang dapat didengarkan. Menurut Malinowski bahasa
adalah peranti kegiatan sosial dan peranti kerja sama.
- Komunifatik
Komunifatik adalah istilah yang ditemukan
oleh Malinowski untuk memberi label pada pemakaian bahasa yang
nonreferensial. Mungkin seseorang akan keberatan bahwa pelarian dari
masalah referensial semacam itu hanya ada jika tuturan dalam masyarakat
memberi efek melalui perantara pemahaman penutur berupa harapan,
keinginan, dan sebagainya.
- Terjemahan
Malinowski berpandangan selama masyarakat
itu unik, bahasa serta situasi pemakai bahasa itu juga unik khususnya
dalam situasi masyarakat tertentu.
3. Analisis Monosistemik Versus Polisistemik
Menurut Bloomfield, fonemik didasarkan
pada sistem tunggal bahasa sebuah asumsi yang bertentangan dengan
konsepsi bahasa Firth. Firth tidak percaya bahwa analisis wacana dapat
dikembangkan dari prosedur fonemik, juga tidak dengan analogi dari
padanya. Firth mengabaikan fakta bahwa pada setiap titik dalam sebuah
bahasa dapat dan harus dianggap focus dari banyak sitemik dan hubungan
struktural.
4. Kesia-siaan
Istilah kesia-siaan menunjukkan bahwa
ciri gayut secara fonemik dalam bahasa adalah yang dibatasi sebgai
segmen dasar dan bahwa ada yang lain yakni ciri yang dapat diramalkan
secara otomatis yang sifatnya ekstra dan oleh karena itu tidak
fungsional. Kaum prosodis berpendapat bahwa perbedaan bunyi itu seperti
variasi alofonik adalah sia-sia. Menurut Allen, fakta bahwa fonemisis
kemudian memberikan pernyataan distribusional, mendaftar varian alofonik
fonem yang dapat diramalkan menurut lingkungannya adalah bukti bahwa
asumsi awal mereka sudah salah.
Ciri fonetik yang biasanya ditempatkan
pada prosodi dalam sistem ini pada umumnya diperlukan pada latihan
fonemik dan seperti usul Zelling Haris, diberi secara fonemik melalui
urutan fonem segmen tunggal. Komponen semacam itu disebut “pendek” yang
mempunyai segmen tunggal. Dan panjang apabila mempunyai dua morfem atau
lebih.
Para prosodis mengingkari bahwa ini
merupakan informasi sama yang diberikan oleh mereka. Robin membedakan
prosodi dari fonem suprasegmental. Fonem suprasegmental mewakili ciri
kuantitatif, sedangkan prosodi berkenaan dengan ciri kualitatif. Prosodi
berbeda dengan konsep Haris, tentang komponen panjang fonemik. Menurut
Robin, “Abstraksi sebuah komponen dari sebuah fonem dalam sebuah
lingkungan termasuk abstraksi dalam semua lingkungannya”. Prosodi
dikaitkan dengan struktur fonologis dan gramatik yang khusus, sedang
komponen panjang tidak.