Menjajaki bangku kuliah memang berbeda dengan bangku sekolah. Di sekolah
siswa berlomba-lomba mengumpulkan nilai bagus untuk mendapatkan ranking
teratas. Setelah memasuki ruangan kampus, semuanya berubah karena kita
sudah dispesifikasikan sesuai dengan kemampuan kita dan bidang yang kita
sukai (kecuali yang dipaksa sama orang tua). Kita berada dalam jurusan
yang akan mengantarkan kita ke dunia kerja. Sistem penilaiannya sudah
berbeda. Penilaian di kuliah berdasarkan mata kuliah yang diambil dan
dinilai dengan huruf (ABCDE). Dosen yang dihadapi pun bervariasi
kepribadiannya. Dosen pun tak sama dengan guru. Guru masih memperhatikan
perkembangan akademik masing-masing siswanya di dalam maupun luar
sekolah dan berusaha agar murid-muridnya paham dengan suatu pelajaran,
sedangkan Dosen lebih banyak berperan mengajar di dalam ruangan dan
cenderung mengejar materi mata kuliah sesuai dengan SKS (tidak memiliki
tanggungan untuk memperhatikan perkembangan akademik mahasiswanya).
Mahasiswa umumnya belajar dengan maksimal berharap mendapatkan nilai
yang bagus. Belajar di bangku kuliah semata-mata hanya untuk mengejar
nilai. Bagaimanapun juga kita sebagai mahasiswa membutuhkan nilai untuk
kelak mencari pekerjaan. Pada lowongan pekerjaan, syarat utama untuk
melamar suatu pekerjaan yaitu dengan standar nilai ipk tertentu
(biasanya ipk yang diminta 3,00). Tentu saja, bagi yang ‘gila nilai’
berjuang keras untuk mendapatkan nilai sebagus-bagusnya, tidak jarang
pula ada yang mengambil jalan pintas (seperti menyontek, dll).
Tetapi apakah nilai itu segala-galanya? Apakah hanya esensi nilai saja
yang diutamakan. Bagaimana dengan ilmu yang didapat selama bangku
kuliah?
Seperti yang kita ketahui, tujuan utama kita menuntut ilmu di bangku
kuliah adalah untuk mencari ilmu sehingga dapat diterapkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan bidang masing-masing. Namun, anggapan itu
dapat dipatahkan jika seseorang tersebut hanya mengejar nilai. Mahasiswa
yang hanya memikirkan nilai akan merasa terpukul bahkan stress jika
mendapatkan nilai yang jelek. Seperti yang kita ketahui, nilai didapat
ketika kita bisa mengerjakan soal-soal yang diujikan. Tentu saja
soal-soal yang diujikan tidak semua materi tertera dalam soal. Namun
faktanya, tidak semua mahasiswa yang kompeten mendapatkan nilai yang
bagus. Mahasiswa yang berjaya dalam ujianlah yang bisa. Jadi, nilai
bukanlah ukuran yang valid dalam menentukan kapabilitas seseorang.
Beda dosen beda penilaian. Ada dosen yang murah nilai dan ada dosen yang
pelit nilai. Jika seorang mahasiswa yang berkemampuan biasa diajar oleh
dosen yang murah nilai, ia sangatlah beruntung. Sebab, ia bisa
mendapatkan nilai tambahan oleh dosen itu. Namun apabila ia diajar dosen
yang pelit nilai, alhasil ia akan sulit memperoleh nilai yang bagus.
Nilai bukanlah ukuran yang valid untuk menentukan kemapuan mahasiswa.
Mahasiswa seharusnya lebih bijak dalam mendefinisikan nilai dan ilmu.
Padahal banyak hal yang harus dipikirkan ketimbang nilai. Pengaplikasian
dari ilmu yang didapat itulah yang lebih penting. Jika kita mampu
memahami semua mata kuliah dan bisa menerapkannya ke dunia nyata, kita
berarti mampu untuk bersaing di dunia kerja. Jadi, jangan hanya duduk
untuk menghafal semua teori-teori, seseorang juga harus tanggap kepada
problematika yang ada di lingkungan sekitar. Jika seseorang berkuliah
untuk bertekad mencari ilmu, ia tidak hanya mencari ilmu di dalam
kampus, ilmu di luar kampus tidak kalah banyaknya. Niscaya, nilai yang
baik akan datang dengan sendirinya. Ilmu di luar kampus (di masyarakat)
adalah ilmu yang sesungguhnya. Kita bisa berhadapan langsung dengan
masalah-masalah yang terjadi dan dapat membuat kita semakin matang dalam
menyelesaikannya.
Terkadang teori tidak sesuai dengan praktek, teori hanyalah ulasan
secara global. Sejauh ini, banyak sekali sekali lulusan sarjana yang
menggagur, hal itu diakibatkan karena banyak yang kurang kompeten
meskipun bernilai baik. Ia kurang agresif di lapangan kerja karena
daridulu hanya terpaku untuk mengumpulkan nilai, sehingga waktu untuk
mencari ilmu di luar kurang. Alahkah baiknya jika berjalan keduanya